Sunday, February 17, 2019

LAPORAN PENDAHULUAN SIROSIS HEPATIS

Link Berikut Klik disini

LAPORAN PENDAHULUAN SIROSIS HEPATIS

A.    Konsep Dasar Penyakit
1.      Pengertian
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono H, 2015).
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2015).
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus, ditandai dengan adanya pembentukan jaringan disertai nodul. Dimulai dengan proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. (Iin Inayah, 2015).

2.      Etiologi/faktor risiko
Penyebab Chirrosis Hepatis :
Secara morfologis, penyebab sirosis hepatis tidak dapat dipastikan. Tapi ada  dua penyebab yang dianggap paling sering menyebabkan Chirrosis hepatis adalah:
a.       Hepatitis virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab chirrosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka diduga mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi chirrosisi. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A
b.      Zat hepatotoksik atau Alkoholisme.
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah alcohol. Sirosis hepatis oleh karena alkoholisme sangat jarang, namun peminum yang  bertahun-tahun mungkin dapat mengarah pada kerusakan parenkim hati.
c.       Hemokromatosis
Bentuk chirrosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan timbulnya hemokromatosis, yaitu:
1)      Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
2)      Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai pada penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis hati.

3.      Ptofisiologi/patway
Infeksi hepatitis viral tipe B/C menimbulkan peradangan sel hati. Peradangan ini menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas (hepatoseluler), terjadi kolaps lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan parut disertai terbentuknya septa fibrosa difus dan nodul sel hati, walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologi sirosis hati sama atau hampir sama, septa bisa dibentuk dari sel retikulum penyangga yang kolaps dan berubah jadi parut. Jaringan parut ini dapat menghubungkan daerah porta dengan sentral. Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai macam ukuran dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan gangguan aliran darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian dapat pula terjadi pada sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama. Tahap berikutnya terjadi peradangan pada nekrosis pada sel duktules, sinusoid, retikulo endotel, terjadi fibrinogenesis dan septa aktif. Jaringan kolagen berubah dari reversible menjadi ireversibel bila telah terbentuk septa permanen yang aseluler pada daerah porta dan parenkim hati. Gambaran septa ini bergantung pada etiologi sirosis. Pada sirosis dengan etiologi hemokromatosis, besi mengakibatkan fibrosis daerah periportal, pada sirosis alkoholik timbul fibrosis daerah sentral. Sel limposit T dan makrofag menghasilkan limfokin dan monokin, mungkin sebagai mediator timbulnya fibrinogen. Mediator ini tidak memerlukan peradangan dan nekrosis aktif. Septal aktif ini berasal dari daerah porta menyebar ke parenkim hati.





       Pathway Sirosis Hepatis (Sirosis Hati)
Pathway Sirosis Hepatis (Sirosis Hati)

4.      Manifestasi klinis
a.       Pembesaran Hati ( hepatomegali ):
Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kaosukalisoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut sehingga menyebabkan pengerutan jaringan hati.
b.      Obstruksi Portal dan Asites:
Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ digestif akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditujukan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Jarring-jaring telangiektasis atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jarring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan seluruh tubuh.
c.       Varises Gastroinstestinal:
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik yang mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem gastrolintestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh portal ke dalam pembulu darah dengan tekanan yang lebih rendah.
d.       Edema:
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.
e.       Defisiensi Vitamin dan Anemia:
Kerena pembentukan, penggunaan, dan penyimpanan vitamin tertentu yang tidak memadai (terutama vitamin A, C, dan K), maka tanda-tanda defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai khususnya sebagai fenomena hemoragi yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati akan menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
f.       Kemunduran mental:
Manifestasi klinik lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan ensefalopati. Karena itu, pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis yang mencakup perilaku umum pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara.

5.      Pemeriksaan penunjang
a.       Pemeriksaan Laboratorium
1)      Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila penderita ada ikterus. Pada penderita dengan asites , maka ekskresi Na dalam urine berkurang ( urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan kemungkinan telah terjadi syndrome hepatorenal.
2)      Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan ikterus, ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak terserap oleh darah, di dalam usus akan diubah menjadi sterkobilin yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja berwarna cokelat atau kehitaman.
3)      Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan, kadang –kadang dalam bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asam folik dan vitamin B12 atau karena splenomegali. Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan gastrointestinal maka baru akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni bersamaan dengan adanya trombositopeni.
4)      Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis globulin menaik, sedangkan albumin menurun. Pada orang normal tiap hari akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada orang dengan sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari.  Kadar normal albumin dalam darah 3,5-5,0 g/dL. Jumlah albumin dan globulin yang masing-masing diukur melalui proses yang disebut elektroforesis protein serum. Perbandingan normal albumin : globulin adalah 2:1 atau lebih. Selain itu, kadar asam empedu juga termasuk salah satu tes faal hati yang peka untuk mendeteksi kelainan hati secara dini.

b.      Sarana Penunjang Diagnostik
1)       Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah,: pemeriksaan fototoraks, splenoportografi, Percutaneus Transhepatic Porthography (PTP)
2)      Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi kelaianan di hati, termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung pada tingkat berat ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan sirosis akan tampak hati membesar, permulaan irregular, tepi hati tumpul, . Pada fase lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu tampak penebalan permukaan hati yang irregular. Sebagian hati tampak membesar dan sebagian lagi dalam batas nomal.
3)      Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis hati akan jelas kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol berbentuk nodul yang besar atau kecil dan terdapatnya gambaran fibrosis hati, tepi biasanya tumpul. Seringkali didapatkan pembesaran limpa.

6.      Komplikasi
Komplikasi yang sering timbul pada penderita Sirosis Hepatis diantaranya adalah:
a.        Perdarahan Gastrointestinal
Setiap penderita Sirosis Hepatis dekompensata terjadi hipertensi portal, dan timbul varises esophagus. Varises esophagus yang terjadi pada suatu waktu mudah pecah, sehingga timbul perdarahan yang massif. Sifat perdarahan yang ditimbulkan adalah muntah darah atau hematemesis biasanya mendadak dan massif tanpa didahului rasa nyeri di epigastrium. Darah yang keluar berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan membeku, karena sudah tercampur dengan asam lambung. Setelah hematemesis selalu disusul dengan melena (Sujono Hadi). Mungkin juga perdarahan pada penderita Sirosis Hepatis tidak hanya disebabkan oleh pecahnya varises esophagus saja. FAINER dan HALSTED pada tahun 1965 melaporkan dari 76 penderita Sirosis Hepatis dengan perdarahan ditemukan 62% disebabkan oleh pecahnya varises esofagii, 18% karena ulkus peptikum dan 5% karena erosi lambung.
b.      Koma hepatikum
Komplikasi yang terbanyak dari penderita Sirosis Hepatis adalah koma hepatikum. Timbulnya koma hepatikum dapat sebagai akibat dari faal hati sendiri yang sudah sangat rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Ini disebut sebagai koma hepatikum primer. Dapat pula koma hepatikum timbul sebagai akibat perdarahan, parasentese, gangguan elektrolit, obat-obatan dan lain-lain, dan disebut koma hepatikum sekunder.
c.       Ulkus peptikum
Timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis Hepatis lebih besar bila dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa kemungkinan disebutkan diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster dan duodenum, resistensi yang menurun pada mukosa, dan kemungkinan lain ialah timbulnya defisiensi makanan.
d.      Karsinoma hepatoselular
Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama pada bentuk postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan berubah menjadi adenomata multiple kemudian berubah menjadi karsinoma yang multiplel
e.       Infeksi
Setiap  penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk juga penderita sirosis, kondisi badannya menurun. Menurut Schiff, spellberg infeksi yang sering timbul pada penderita sirosis, diantaranya adalah : peritonitis, bronchopneumonia, pneumonia, tbc paru-paru, glomeluronefritis kronik, pielonefritis, sistitis, perikarditis, endokarditis, erysipelas maupun septikemi (Sujono, 2010).

7.      Penatalaksanaan
Penatalaksaan pasien sirosis biasanya didasarkan pada gejala yang ada. Sebagai contoh, antasid diberikan untuk mengurangi distress lambung dan meminimalkan kemungkinan perdarahan gastrointestinal. Vitamin dan suplemen nutrisi akan meningkatkan proses kesembuhan pada sel-sel hati yang rusak dan memperbaiki status gizi pasien. Pemberian preparat diuretik yang mempertahankan kalium (spironolakton) mungkin diperlukan untuk mengurangi asites dan meminimalkan perubahan cairan serta elektrolit yang umum terjadi pada penggunaan jenis diuretik lainnya (Sjaifoellah, 2000).
a.       Penatalaksaan lainnya pada sirosis hepatis, yaitu:
1)       Istirahat yang cukup sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam.
2)      Diet rendah protein (diet hati III: protein 1 g/kg BB, 55 g protein, 2.000 kalori). Bila ada ascites diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau III (1.000-2.000 mg). Bila proses tidak aktif, diperlukan diet tinggi kalori (2.000-3.000 kalori) dan tinggi protein (80-125 g/hari).
b.       Penatalaksanaan pada asites dan edema, yaitu:
1)      Istirahat dan diet rendah garam.
2)      Bila istirahat dan diet rendah garam tidak dapat mengatasi, diberikan pengobatan diuretik berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat ditingkatkan sampai 300 mg/hari bila setelah 3-4 hari tidak terdapat perubahan.
3)      Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi medikamentosa yang intensif) lakukan terapi parasentesis.
4)      Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1kg/2 hari atau keseimbangan cairan negative 600-800 ml/hari. Hati-hati bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam satu saat, dapat mencetus ensefalopati hepatic.

B.     Konsep proses keperawatan
1.      Pengkajian keperawatan
a)       Identitas Klien
b)      Riwayat Sakit dan Kesehatan
c)      Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengapa pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluahan utama pasien, sehingga dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul.
d)     Riwayat Kesehatan Sebelumnya:
Apakah pasien pernah dirawat dengan penyakit yang sama atau penyakit lain yang berhubungan dengan penyakit hati, sehingga menyebabkan penyakit Sirosis hepatis. Apakah pernah sebagai pengguna alkohol dalam jangka waktu yang lama disamping asupan makanan dan perubahan dalam status jasmani serta rohani pasien. Selain itu apakah pasien memiliki penyakit hepatitis, obstruksi empedu, atau bahkan pernah mengalami gagal jantung kanan.
e)      Riwayat Kesehatan Keluarga:
Adakah penyakit-penyakit yang dalam keluarga sehingga membawa dampak berat pada keadaan atau yang menyebabkan Sirosis hepatis, seperti keadaan sakit DM, hipertensi,ginjal yang ada dalam keluarga. Hal ini penting dilakukan bila ada gejala-gejala yang memang bawaan dari keluarga pasien.
f)       Riwayat Sosial Ekonomi:
Apakah pasien suka berkumpul dengan orang-orang sekitar yang pernah mengalami penyakit hepatitis, berkumpul dengan orang-orang yang dampaknya mempengaruhi perilaku pasien yaitu peminum alcohol, karena keadaan lingkungan sekitar yang tidak

g)      Pemeriksaan Fisik 
Tanda – tanda vital dan pemeriksaan fisik Kepala – kakiTD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan umumpasien / kondisi pasien dan termasuk pemeriksaan dari kepala sampai kaki dan lebihfocus pada pemeriksaan organ seperti hati, abdomen, limpa dengan menggunakan prinsip-prinsip inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi), disamping itu juga penimbangan BB dan pengukuran tinggi badan dan LLA untuk mengetahui adanya penambahan BB karena retreksi cairan dalam tubuh disamping juga untuk menentukan tingakat gangguan nutrisi yang terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan Nutrisi yang dibutuhkan.
(1)   Hati : perkiraan besar hati, bila ditemukan hati membesar tanda awal adanya cirosis hepatis, tapi bila hati mengecil prognosis kurang baik, konsistensi biasanya kenyal / firm, pinggir hati tumpul dan ada nyeri tekan padaperabaan hati.
(2)   Limpa: ada pembesaran limpa, dapat diukur dengan 2 cara :-Schuffner, hati membesar ke medial dan ke bawah menuju umbilicus (S-I-IV) dan dari umbilicus ke SIAS kanan (S V-VIII)-Hacket, bila limpa membesar ke arah bawah saja.
(3)   Pada abdomen dan ekstra abdomen dapat diperhatikan adanya vena kolateral dan acites, manifestasi diluar perut: perhatikan adanya spinder nevi pada tubuh bagian atas, bahu, leher, dada, pinggang, caput medussae dan tubuh bagian bawah, perlunya diperhatikan adanya eritema palmaris, ginekomastiadan atropi testis pada pria, bias juga ditemukan hemoroid 
(4)   Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )
·         B1 (Breathing) : sesak, keterbatasan ekspansi dada karena hidrotoraks dan asites.
·         B2 (Blood)      : pendarahan, anemia, menstruari menghilang. Obstruksi pengeluaran empedu mengakibatkan absorpsi lemak menurun, sehingga absorpsi vitamin K menurun. Akibatnya, factor-faktor pembekuan darah menurun dan menimbulkan pendarahan. Produksi pembekuan darah menurun yang mengakibatkan gangguan pembekuan darah, selanjutnya cenderung mengalami pendarahan dan mengakibatkan anemia. produksi albumin menurun mengakibatkan penurunan tekanan osmotic koloid, yang akhirnya menimbulkan edema dan asites. Gangguan system imun : sistesis protein secara umum menurun, sehingga menggangu system imun, akhirnya penyembuhan melambat.
·         B3 (Brain)       : Kesadaran dan keadaan umum pasien Perlu dikaji tingkat kesadaran pasien dari sadar – tidak sadar (composmentis – coma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit pasien, kekacuan fungsi dari hepar salah satunya membawa dampak yang tidak langsung terhadap penurunan kesadaran, salah satunya dengan adanya anemia menyebabkan pasokanO2 ke jaringan kurang termasuk pada otak.
·         B4 (Bladder)     : urine berwarna kuning tua dan berbuih. Bilirubin tak-terkonjugasi meningkat bilirubin dalam urine dan ikterik serta pruritus
·         B5 (Bowel)       : anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen. Vena-vena gastrointestinal menyempit, terjadi inflamasi hepar, fungsi gastrointestinal terganggu. Sintetisb asam lemak dan trigliserida meningkat yang mengakibatkan hepar berlemak, akhirnya menjadi hepatomegali : oksidasi asam lemak menurun yang menyebabkan penurunan produksi tenaga. Akibatnya, berat badan menurun.
·         B6 (Bone)         : keletihan, metabolism tubuh meningkat produksi energy kurang. Glikogenesis meningkat, glikogenolisis dan glikoneogenesis meningkat yang menyebabkan gangguan metabolisme glukosa. Akibatnya terjadi penurunan tenaga.

2.      Diagnosa keperawatan yang sering muncul
a.       Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan
b.      Perubahan suhu tubuh: hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi pada sirosis
c.       Gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan pembentukan edema.
d.      Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ikterus dan status imunologi yang terganggu
e.       Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
f.       Resiko cedera berhubungan dengan hipertensi portal, perubahan mekanisme pembekuan dan gangguan dalam proses detoksifikasi obat.
g.      Nyeri kronis berhubungan dengan agen injuri biologi (hati yang membesar serta nyeri tekan dan asites)

3.      Rencana keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Rencana Keperawatan
NOC
NIC
Rasional
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan
Tujuan: Peningkatan energi dan partisipasi dalam aktivitas
Kriteria Hasil:
1.      Melaporkan peningkatan kekuatan dan kesehatan pasien.
2.      Merencanakan aktivitas untuk memberikan kesempatan istirahat yang cukup.
3.      Meningkatkan aktivitas dan latihan bersamaan dengan bertambahnya kekuatan.
4.      Memperlihatkan asupan nutrien yang adekuat dan menghilangkan alkohol dari diet.
1)      Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).
2)      Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K)
3)      Motivasi pasien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat
4)      Motivasi dan bantu pasien untuk melakukan latihan dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap
1)      Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan.
2)      Memberikan nutrien tambahan.
3)      Menghemat tenaga pasien sambil mendorong pasien untuk melakukan latihan dalam batas toleransi pasien.
4)      Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri
Perubahan suhu tubuh: hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi pada sirosis
Tujuan: Pemeliharaan suhu tubuh yang normal
Kriteria Hasil:
1.      Melaporkan suhu tubuh yang normal dan tidak terdapatnya gejala menggigil atau perspirasi.
2.      Memperlihatkan asupan cairan yang adekuat.
1)      Catat suhu tubuh secara teratur.
2)      Motivasi asupan cairan
3)      Lakukan kompres dingin atau kantong es untuk menurunkan kenaikan suhu tubuh.
4)      Berikan antibiotik seperti yang diresepkan.
5)      Hindari kontak dengan infeksi.
6)      Jaga agar pasien dapat beristirahat sementara suhu tubuhnya tinggi.
1)      Memberikan dasar untuk deteksi hati dan evaluasi intervensi.
2)      Memperbaiki kehilangan cairan akibat perspirasi serta febris dan meningkatkan tingkat kenyamanan pasien.
3)      Menurunkan panas melalui proses konduksi serta evaporasi, dan meningkatkan tingkat kenyaman pasien.
4)      Meningkatkan konsentrasi antibiotik serum yang tepat untuk mengatasi infeksi.
5)      Meminimalkan resiko peningkatan infeksi, suhu tubuh serta laju metabolik.
6)      Mengurangi laju metabolik.
Gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan pembentukan edema.
Tujuan: Memperbaiki integritas kulit dan proteksi jaringan yang mengalami edema.
Kriteria Hasil:
1. Memperlihatkan turgor kulit yang normal pada ekstremitas dan batang tubun.
2. Tidak memperlihatkan luka pada kulit.
3. Memperlihatkan jaringan yang normal tanpa gejala eritema, perubahan warna atau peningkatan suhu di daerah tonjolan tulang.
4. Mengubah posisi dengan sering.
1)      Batasi natrium seperti yang diresepkan.
2)      Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.
3)      Balik dan ubah posisi pasien dengan sering.
4)      Timbang berat badan dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari.
5)      Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematus.
6)      Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, maleolus dan tonjolan tulang lainnya.
1)      Meminimalkan pembentukan edema.
2)      Jaringan dan kulit yang edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.
3)       Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema.
4)      Memungkinkan perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang paling baik.
5)      Meningkatkan mobilisasi edema.
6)      Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika dilakukan dengan benar.
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ikterus dan status imunologi yang terganggu
Tujuan: Memperbaiki integritas kulit dan meminimalkan iritasi kulit
Kriteria Hasil:
1.      Memperlihatkan kulit yang utuh tanpa terlihat luka atau infeksi.
2.      Melaporkan tidak adanya pruritus.
3.      Memperlihatkan pengurangan gejala ikterus pada kulit dan sklera.
4.      Menggunakan emolien dan menghindari pemakaian sabun dalam menjaga higiene sehari-hari.
1)      Observasi dan catat derajat ikterus pada kulit dan sklera.
2)      Lakukan perawatan yang sering pada kulit, mandi tanpa menggunakan sabun dan melakukan masase dengan losion pelembut (emolien).
3)      Jaga agar kuku pasien selalu pendek.
1)    Memberikan dasar untuk deteksi perubahan dan evaluasi intervensi.
2)    Mencegah kekeringan kulit dan meminimalkan pruritus.
3)    Mencegah ekskoriasi kulit akibat garukan.
Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
Tujuan: Perbaikan status nutrisi
Kriteria Hasil:
1.      Memperlihatkan asupan makanan yang tinggi kalori, tinggi protein dengan jumlah memadai.
2.      Mengenali makanan dan minuman yang bergizi dan diperbolehkan dalam diet.
3.      Bertambah berat tanpa memperlihatkan penambahan edema dan pembentukan asites.
4.      Mengenali dasar pemikiran mengapa pasien harus makan sedikit-sedikit tapi sering.
5.      Melaporkan peningkatan selera makan dan rasa sehat.
6.      Menyisihkan alkohol dari dalam diet.
7.      Turut serta dalam upaya memelihara higiene oral sebelum makan dan menghadapi mual.
8.      Menggunakna obat kelainan gastrointestinal seperti yang diresepkan.
9.      Melaporkan fungsi gastrointestinal yang normal dengan defekasi yang teratur.
10.  Mengenali gejala yang dapat dilaporkan: melena, pendarahan yang nyata.
1)Motivasi pasien untuk makan makanan dan suplemen makanan.
2)Tawarkan makan makanan dengan porsi sedikit tapi sering.
3)Hidangkan makanan yang menimbulkan selera dan menarik dalam penyajiannya.
4)Pantang alkohol.
5)Pelihara higiene oral sebelum makan.
6)Pasang ice collar untuk mengatasi mual.
7)Berikan obat yang diresepkan untuk mengatasi mual, muntah, diare atau konstipasi.
8)Motivasi peningkatan asupan cairan dan latihan jika pasien melaporkan konstipasi.
9)Amati gejala yang membuktikan adanya perdarahan gastrointestinal.
1)      Motivasi sangat penting bagi penderita anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
2)      Makanan dengan porsi kecil dan sering lebih ditolerir oleh penderita anoreksia.
3)      Meningkatkan selera makan dan rasa sehat.
4)      Menghilangkan makanan dengan “kalori kosong” dan menghindari iritasi lambung oleh alkohol.
5)      Mengurangi citarasa yang tidak enak dan merangsang selera makan.
6)      Dapat mengurangi frekuensi mual.
7)      Mengurangi gejala gastrointestinal dan perasaan tidak enak pada perut yang mengurangi selera makan dan keinginan terhadap makanan.
8)      Meningkatkan pola defekasi yang normal dan mengurangi rasa tidakenak serta distensi pada abdomen.
9)      Mendeteksi komplikasi gastrointestinal yang serius.
Resiko cedera berhubungan dengan hipertensi portal, perubahan mekanisme pembekuan dan gangguan dalam proses detoksifikasi obat.
Tujuan: Pengurangan resiko cedera
Kriteria Hasil:
1.      Tidak memperlihatkan adanya perdarahan yang nyata dari traktus gastrointestinal.
2.      Tidak memperlihatkan adanya kegelisahan, rasa penuh pada epigastrium dan indikator lain yang menunjukkan hemoragi serta syok.
3.       Memperlihatkan hasil pemeriksaan yang negatif untuk perdarahan tersembunyi gastrointestinal.
4.      Bebas dari daerah-daerah yang mengalami ekimosis atau pembentukan hematom.
5.       Memperlihatkan tanda-tanda vital yang normal.
6.      Mempertahankan istirahat dalam keadaan tenang ketika terjadi perdarahan aktif.
7.      Mengenali rasional untuk melakukan transfusi darah dan tindakan guna mengatasi perdarahan.
8.      Melakukan tindakan untuk mencegah trauma (misalnya, menggunakan sikat gigi yang lunak, membuang ingus secara perlahan-lahan, menghindari terbentur serta terjatuh, menghindari mengejan pada saat defekasi).
9.       Tidak mengalami efek samping pemberian obat.
10.  Menggunakan semua obat seperti yang diresepkan.
11.  Mengenali rasional untuk melakukan tindakan penjagaan dengan menggunakan semua obat.
1)      Amati setiap feses yang dieksresikan untuk memeriksa warna, konsistensi dan jumlahnya.
2)      Waspadai gejala ansietas, rasa penuh pada epigastrium, kelemahan dan kegelisahan.
3)      Periksa setiap feses dan muntahan untuk mendeteksi darah yang tersembunyi.
4)      Amati manifestasi hemoragi: ekimosis, epitaksis, petekie dan perdarahan gusi.
5)      Catat tanda-tanda vital dengan interval waktu tertentu.
6)      Jaga agar pasien tenang dan membatasi aktivitasnya.
7)      Bantu dokter dalam memasang kateter untuk tamponade balon esofagus.
8)      Lakukan observasi selama transfusi darah dilaksanakan.
9)      Ukur dan catat sifat, waktu serta jumlah muntahan.
10)   Pertahankan pasien dalam keadaan puasa jika diperlukan.
11)  Berikan vitamin K seperti yang diresepkan.
12)  Dampingi pasien secara terus menerus selama episode perdarahan.
13)  Berikan obat dengan hati-hati; pantau efek samping pemberian obat.
1)      Memungkinkan deteksi perdarahan dalam traktus gastrointestinal.
2)      Dapat menunjukkan tanda-tanda dini perdarahan dan syok.
3)      Mendeteksi tanda dini yang membuktikan adanya perdarahan.
4)      Menunjukkan perubahan pada mekanisme pembekuan darah.
5)        Memberikan dasar dan bukti adanya hipovolemia dan syok.
6)       Meminimalkan resiko perdarahan dan mengejan.
7)      Memudahkan insersi kateter kontraumatik untuk mengatasi perdarahan dengan segera pada pasien yang cemas dan melawan.
8)      Memungkinkan deteksi reaksi transfusi (resiko ini akan meningkat dengan pelaksanaan lebih dari satu kali transfusi yang diperlukan untuk mengatasi perdarahan aktif dari varises esofagus)
9)      Membantu mengevaluasi taraf perdarahan dan kehilangan darah.
10)  Mengurangi resiko aspirasi isi lambung dan meminimalkan resiko trauma lebih lanjut pada esofagus dan lambung.
11)   Meningkatkan pembekuan dengan memberikan vitamin larut lemak yang diperlukan untuk mekanisme pembekuan darah.
12)  Menenangkan pasien yang merasa cemas dan memungkinkan pemantauan serta deteksi terhadap kebutuhan pasien selanjutnya.
13)   Mengurangi resiko efek samping yang terjadi sekunder karena ketidakmampuan hati yang rusak untuk melakukan detoksifikasi (memetabolisasi) obat secara normal.
Nyeri kronis berhubungan dengan agen injuri biologi (hati yang membesar serta nyeri tekan dan asites)
Tujuan: Peningkatan rasa kenyamanan
Kriteria Hasil:
1.      Mempertahankan tirah baring dan mengurangi aktivitas ketika nyeri terasa.
2.       Menggunakan antipasmodik dan sedatif sesuai indikasi dan resep yang diberikan.
3.      Melaporkan pengurangan rasa nyeri dan gangguan rasa nyaman pada abdomen.
4.      Melaporkan rasa nyeri dan gangguan rasa nyaman jika terasa.
5.      Mengurangi asupan natrium dan cairan sesuai kebutuhan hingga tingkat yang diinstruksikan untuk mengatasi asites.
6.      Merasakan pengurangan rasa nyeri.
7.      Memperlihatkan pengurangan rasa nyeri.
8.      Memperlihatkan pengurangan lingkar perut dan perubahan berat badan yang sesuai.
1)   Pertahankan tirah baring ketika pasien mengalami gangguan rasa nyaman pada abdomen.
2)   Berikan antipasmodik dan sedatif seperti yang diresepkan.
3)    Kurangi asupan natrium dan cairan jika diinstruksikan.
1)      Mengurangi kebutuhan metabolik dan melindungi hati.
2)      Mengurangi iritabilitas traktus gastrointestinal dan nyeri serta gangguan rasa nyaman pada abdomen.
3)      Memberikan dasar untuk mendeteksi lebih lanjut kemunduran keadaan pasien dan untuk mengevaluasi intervensi
4)      Meminimalkan pembentukan asites lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Baradero, mary. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Hati. Penerbit buku kedocteran egc. Jakarta.

Black & Hawks. 2005. Medical surgical nursing : Clinical management for positive outcome. St.Louis : Elvier Saunders

Brunner & Suddarth. 2008. Textbook of medical surgical nursing, eleventh edition. Philadelpia: Lippincott William & Wilkins

Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. (1999). Rencana asuhankeperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: PenerbitBuku Kedokteran (EGC)

Elizabeth J. Corwin. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Johnson, M. et.al. 2000. Nursing Outcome Classification (NOC) 2nd ed. USA: Mosby

McCloskey, J. C. & Bulechek, G. M. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC). USA: Mosby Guyton &Hall. 2000. Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC

Keyman, Withfield. 2006. Dietary proteins intake in patients with hepatic encephalopahaty and chirrosis : current practice in NSW and ACT. Diakses pada tanggal 3 OKTOBER 2011 dari :http://www.healthsystem.virginia.edu/internet/digestive-

Krenitsky. 2002. Nutrition for patient with hepatic failure. Diakses tanggal 3 Oktober 2011.
Maryani, Sutadi. 2003. Sirosis hepatic. Medan : Bagian ilmu penyakit dalam USU




1 comment:

MENCUCI TANGAN DENGAN LARUTAN BERBAHAN DASAR ALKOHOL

LOGO RUMAH SAKIT MENCUCI TANGAN DENGAN LARUTAN BERBAHAN DASAR ALKOHOL NomorDokumen :     /RS UD ...