Link Berikut Klik disini
LAPORAN PENDAHULUAN SIROSIS HEPATIS
A. Konsep Dasar
Penyakit
1.
Pengertian
Sirosis Hepatis (Sirosis
Hati) adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan
pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari
penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono H, 2015).
Sirosis Hepatis (Sirosis
Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses
peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha
regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi
mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul
tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2015).
Sirosis Hepatis (Sirosis
Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus, ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan disertai nodul. Dimulai dengan proses peradangan, nekrosis
sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. (Iin
Inayah, 2015).
2.
Etiologi/faktor
risiko
Penyebab Chirrosis Hepatis :
Secara morfologis, penyebab sirosis
hepatis tidak dapat dipastikan. Tapi ada dua penyebab yang dianggap
paling sering menyebabkan Chirrosis hepatis adalah:
a. Hepatitis
virus
Hepatitis virus terutama tipe B
sering disebut sebagai salah satu penyebab chirrosis hati, apalagi setelah
penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada tahun 1965 dalam darah penderita
dengan penyakit hati kronis , maka diduga mempunyai peranan yang besar untuk
terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi chirrosisi. Secara klinik telah
dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk
lebih menetap dan memberi gejala sisa serta menunjukan perjalanan yang kronis,
bila dibandingkan dengan hepatitis virus A
b. Zat
hepatotoksik atau Alkoholisme.
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia
dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis.
Kerusakan hati akut akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan
kerusakan kronis akan berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering
disebut-sebut ialah alcohol. Sirosis hepatis oleh karena alkoholisme sangat
jarang, namun peminum yang bertahun-tahun mungkin dapat mengarah pada
kerusakan parenkim hati.
c. Hemokromatosis
Bentuk chirrosis yang terjadi
biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan timbulnya hemokromatosis, yaitu:
1) Sejak
dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
2) Kemungkinan
didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai pada penderita dengan
penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan
timbulnya sirosis hati.
3.
Ptofisiologi/patway
Infeksi hepatitis viral tipe B/C
menimbulkan peradangan sel hati. Peradangan ini menyebabkan nekrosis meliputi
daerah yang luas (hepatoseluler), terjadi kolaps lobulus hati dan ini memacu
timbulnya jaringan parut disertai terbentuknya septa fibrosa difus dan nodul
sel hati, walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologi sirosis hati sama
atau hampir sama, septa bisa dibentuk dari sel retikulum penyangga yang kolaps
dan berubah jadi parut. Jaringan parut ini dapat menghubungkan daerah porta
dengan sentral. Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai
macam ukuran dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan
gangguan aliran darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian
dapat pula terjadi pada sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama. Tahap
berikutnya terjadi peradangan pada nekrosis pada sel duktules, sinusoid,
retikulo endotel, terjadi fibrinogenesis dan septa aktif. Jaringan kolagen
berubah dari reversible menjadi ireversibel bila telah terbentuk septa permanen
yang aseluler pada daerah porta dan parenkim hati. Gambaran septa ini
bergantung pada etiologi sirosis. Pada sirosis dengan etiologi hemokromatosis,
besi mengakibatkan fibrosis daerah periportal, pada sirosis alkoholik timbul fibrosis
daerah sentral. Sel limposit T dan makrofag menghasilkan limfokin dan monokin,
mungkin sebagai mediator timbulnya fibrinogen. Mediator ini tidak memerlukan
peradangan dan nekrosis aktif. Septal aktif ini berasal dari daerah porta
menyebar ke parenkim hati.
Pathway Sirosis Hepatis (Sirosis
Hati)
4.
Manifestasi
klinis
a. Pembesaran Hati ( hepatomegali ):
Pada awal
perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak.
Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui
melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran
hati yang cepat sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati
(kaosukalisoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang
setelah jaringan parut sehingga menyebabkan pengerutan jaringan hati.
b. Obstruksi Portal dan Asites:
Manifestasi
lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis dan sebagian
lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ digestif
akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Cairan yang kaya protein
dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditujukan
melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Jarring-jaring
telangiektasis atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jarring berwarna
biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan
seluruh tubuh.
c. Varises Gastroinstestinal:
Obstruksi
aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik yang
mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem
gastrolintestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh portal ke dalam
pembulu darah dengan tekanan yang lebih rendah.
d. Edema:
Gejala
lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis.
Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk
terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi
natrium serta air dan ekskresi kalium.
e. Defisiensi Vitamin dan Anemia:
Kerena
pembentukan, penggunaan, dan penyimpanan vitamin tertentu yang tidak memadai
(terutama vitamin A, C, dan K), maka tanda-tanda defisiensi vitamin tersebut
sering dijumpai khususnya sebagai fenomena hemoragi yang berkaitan dengan defisiensi
vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal bersama-sama
asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati akan menimbulkan anemia
yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta
kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu
kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
f. Kemunduran mental:
Manifestasi
klinik lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan ensefalopati. Karena itu,
pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis yang mencakup
perilaku umum pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta
tempat, dan pola bicara.
5.
Pemeriksaan
penunjang
a.
Pemeriksaan Laboratorium
1)
Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen
juga terdapat bilirubin bila penderita ada ikterus. Pada penderita dengan
asites , maka ekskresi Na dalam urine berkurang ( urine kurang dari 4 meq/l)
menunjukkan kemungkinan telah terjadi syndrome hepatorenal.
2)
Tinja
Terdapat kenaikan kadar
sterkobilinogen. Pada penderita dengan ikterus, ekskresi pigmen empedu rendah.
Sterkobilinogen yang tidak terserap oleh darah, di dalam usus akan diubah
menjadi sterkobilin yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja berwarna cokelat
atau kehitaman.
3)
Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik
anemia yang ringan, kadang –kadang dalam bentuk makrositer yang disebabkan
kekurangan asam folik dan vitamin B12 atau karena splenomegali. Bilamana
penderita pernah mengalami perdarahan gastrointestinal maka baru akan terjadi
hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni bersamaan dengan adanya
trombositopeni.
4)
Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami
gangguan tes faal hati, lebih lagi penderita yang sudah disertai tanda-tanda
hipertensi portal. Pada sirosis globulin menaik, sedangkan albumin menurun.
Pada orang normal tiap hari akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada orang dengan
sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari. Kadar normal albumin dalam darah 3,5-5,0 g/dL.
Jumlah albumin dan globulin yang masing-masing diukur melalui proses yang
disebut elektroforesis protein serum. Perbandingan normal albumin : globulin
adalah 2:1 atau lebih. Selain itu, kadar asam empedu juga termasuk salah satu
tes faal hati yang peka untuk mendeteksi kelainan hati secara dini.
b.
Sarana Penunjang Diagnostik
1)
Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering
dimanfaatkan ialah,: pemeriksaan fototoraks, splenoportografi, Percutaneus
Transhepatic Porthography (PTP)
2)
Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) banyak
dimanfaatkan untuk mendeteksi kelaianan di hati, termasuk sirosi hati. Gambaran
USG tergantung pada tingkat berat ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan
sirosis akan tampak hati membesar, permulaan irregular, tepi hati tumpul, .
Pada fase lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu tampak penebalan permukaan
hati yang irregular. Sebagian hati tampak membesar dan sebagian lagi dalam
batas nomal.
3)
Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas
kelainan hati. Pada sirosis hati akan jelas kelihatan permukaan yang
berbenjol-benjol berbentuk nodul yang besar atau kecil dan terdapatnya gambaran
fibrosis hati, tepi biasanya tumpul. Seringkali didapatkan pembesaran limpa.
6. Komplikasi
Komplikasi yang sering timbul pada penderita Sirosis
Hepatis diantaranya adalah:
a.
Perdarahan
Gastrointestinal
Setiap penderita Sirosis Hepatis dekompensata terjadi
hipertensi portal, dan timbul varises esophagus. Varises esophagus yang terjadi
pada suatu waktu mudah pecah, sehingga timbul perdarahan yang massif. Sifat
perdarahan yang ditimbulkan adalah muntah darah atau hematemesis biasanya
mendadak dan massif tanpa didahului rasa nyeri di epigastrium. Darah yang
keluar berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan membeku, karena sudah tercampur
dengan asam lambung. Setelah hematemesis selalu disusul dengan melena (Sujono
Hadi). Mungkin juga perdarahan pada penderita Sirosis Hepatis tidak hanya
disebabkan oleh pecahnya varises esophagus saja. FAINER dan HALSTED pada tahun
1965 melaporkan dari 76 penderita Sirosis Hepatis dengan perdarahan ditemukan
62% disebabkan oleh pecahnya varises esofagii, 18% karena ulkus peptikum dan 5%
karena erosi lambung.
b.
Koma hepatikum
Komplikasi yang terbanyak dari penderita Sirosis
Hepatis adalah koma hepatikum. Timbulnya koma hepatikum dapat sebagai akibat
dari faal hati sendiri yang sudah sangat rusak, sehingga hati tidak dapat
melakukan fungsinya sama sekali. Ini disebut sebagai koma hepatikum primer.
Dapat pula koma hepatikum timbul sebagai akibat perdarahan, parasentese,
gangguan elektrolit, obat-obatan dan lain-lain, dan disebut koma hepatikum
sekunder.
c.
Ulkus peptikum
Timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis
Hepatis lebih besar bila dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa
kemungkinan disebutkan diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster
dan duodenum, resistensi yang menurun pada mukosa, dan kemungkinan lain ialah
timbulnya defisiensi makanan.
d.
Karsinoma hepatoselular
Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis
terutama pada bentuk postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang
akan berubah menjadi adenomata multiple kemudian berubah menjadi karsinoma yang
multiplel
e.
Infeksi
Setiap penurunan kondisi badan akan mudah
kena infeksi, termasuk juga penderita sirosis, kondisi badannya menurun.
Menurut Schiff, spellberg infeksi yang sering timbul pada penderita sirosis,
diantaranya adalah : peritonitis, bronchopneumonia, pneumonia, tbc paru-paru,
glomeluronefritis kronik, pielonefritis, sistitis, perikarditis, endokarditis,
erysipelas maupun septikemi (Sujono, 2010).
7. Penatalaksanaan
Penatalaksaan pasien sirosis biasanya didasarkan pada gejala yang ada.
Sebagai contoh, antasid diberikan untuk mengurangi distress lambung dan
meminimalkan kemungkinan perdarahan gastrointestinal. Vitamin dan suplemen
nutrisi akan meningkatkan proses kesembuhan pada sel-sel hati yang rusak dan
memperbaiki status gizi pasien. Pemberian preparat diuretik yang mempertahankan
kalium (spironolakton) mungkin diperlukan untuk mengurangi asites dan
meminimalkan perubahan cairan serta elektrolit yang umum terjadi pada
penggunaan jenis diuretik lainnya (Sjaifoellah, 2000).
a.
Penatalaksaan
lainnya pada sirosis hepatis, yaitu:
1)
Istirahat
yang cukup sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam.
2)
Diet rendah
protein (diet hati III: protein 1 g/kg BB, 55 g protein, 2.000 kalori). Bila
ada ascites diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau III (1.000-2.000
mg). Bila proses tidak aktif, diperlukan diet tinggi kalori (2.000-3.000
kalori) dan tinggi protein (80-125 g/hari).
b.
Penatalaksanaan pada asites dan edema, yaitu:
1)
Istirahat
dan diet rendah garam.
2)
Bila
istirahat dan diet rendah garam tidak dapat mengatasi, diberikan pengobatan
diuretik berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat ditingkatkan
sampai 300 mg/hari bila setelah 3-4 hari tidak terdapat perubahan.
3)
Bila terjadi
asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi
medikamentosa yang intensif) lakukan terapi parasentesis.
4)
Pengendalian
cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1kg/2 hari atau
keseimbangan cairan negative 600-800 ml/hari. Hati-hati bila cairan terlalu
banyak dikeluarkan dalam satu saat, dapat mencetus ensefalopati hepatic.
B. Konsep proses keperawatan
1.
Pengkajian keperawatan
a)
Identitas
Klien
b)
Riwayat
Sakit dan Kesehatan
c)
Riwayat
Kesehatan Sekarang
Mengapa
pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluahan utama pasien, sehingga dapat
ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul.
d)
Riwayat
Kesehatan Sebelumnya:
Apakah
pasien pernah dirawat dengan penyakit yang sama atau penyakit lain yang
berhubungan dengan penyakit hati, sehingga menyebabkan penyakit Sirosis
hepatis. Apakah pernah sebagai pengguna alkohol dalam jangka waktu yang lama
disamping asupan makanan dan perubahan dalam status jasmani serta rohani
pasien. Selain itu apakah pasien memiliki penyakit hepatitis, obstruksi empedu,
atau bahkan pernah mengalami gagal jantung kanan.
e)
Riwayat
Kesehatan Keluarga:
Adakah
penyakit-penyakit yang dalam keluarga sehingga membawa dampak berat pada
keadaan atau yang menyebabkan Sirosis hepatis, seperti keadaan sakit DM,
hipertensi,ginjal yang ada dalam keluarga. Hal ini penting dilakukan bila ada
gejala-gejala yang memang bawaan dari keluarga pasien.
f)
Riwayat
Sosial Ekonomi:
Apakah
pasien suka berkumpul dengan orang-orang sekitar yang pernah mengalami penyakit
hepatitis, berkumpul dengan orang-orang yang dampaknya mempengaruhi perilaku
pasien yaitu peminum alcohol, karena keadaan lingkungan sekitar yang tidak
g)
Pemeriksaan
Fisik
Tanda –
tanda vital dan pemeriksaan fisik Kepala – kakiTD, Nadi, Respirasi, Temperatur
yang merupakan tolak ukur dari keadaan umumpasien / kondisi pasien dan termasuk
pemeriksaan dari kepala sampai kaki dan lebihfocus pada pemeriksaan
organ seperti hati, abdomen, limpa dengan menggunakan prinsip-prinsip inspeksi,
auskultasi, palpasi, perkusi), disamping itu juga penimbangan BB dan
pengukuran tinggi badan dan LLA untuk mengetahui adanya penambahan BB karena
retreksi cairan dalam tubuh disamping juga untuk menentukan tingakat
gangguan nutrisi yang terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan Nutrisi yang
dibutuhkan.
(1)
Hati : perkiraan
besar hati, bila ditemukan hati membesar tanda awal adanya
cirosis hepatis, tapi bila hati mengecil prognosis kurang
baik, konsistensi biasanya kenyal / firm, pinggir hati tumpul dan ada
nyeri tekan padaperabaan hati.
(2)
Limpa: ada
pembesaran limpa, dapat diukur dengan 2 cara :-Schuffner, hati membesar ke
medial dan ke bawah menuju umbilicus (S-I-IV) dan dari umbilicus ke SIAS
kanan (S V-VIII)-Hacket, bila limpa membesar ke arah bawah saja.
(3)
Pada
abdomen dan ekstra abdomen dapat diperhatikan adanya vena
kolateral dan acites, manifestasi diluar perut: perhatikan adanya spinder nevi
pada tubuh bagian atas, bahu, leher, dada, pinggang, caput medussae dan tubuh
bagian bawah, perlunya diperhatikan adanya eritema palmaris, ginekomastiadan
atropi testis pada pria, bias juga ditemukan hemoroid
(4)
Pemeriksaan
Fisik ( ROS : Review of System )
·
B1
(Breathing) : sesak, keterbatasan ekspansi dada karena hidrotoraks dan asites.
·
B2
(Blood) : pendarahan, anemia, menstruari
menghilang. Obstruksi pengeluaran empedu mengakibatkan absorpsi lemak menurun,
sehingga absorpsi vitamin K menurun. Akibatnya, factor-faktor pembekuan darah
menurun dan menimbulkan pendarahan. Produksi pembekuan darah menurun yang
mengakibatkan gangguan pembekuan darah, selanjutnya cenderung mengalami
pendarahan dan mengakibatkan anemia. produksi albumin menurun mengakibatkan
penurunan tekanan osmotic koloid, yang akhirnya menimbulkan edema dan asites.
Gangguan system imun : sistesis protein secara umum menurun, sehingga menggangu
system imun, akhirnya penyembuhan melambat.
·
B3
(Brain) : Kesadaran dan keadaan umum pasien
Perlu dikaji tingkat kesadaran pasien dari sadar – tidak sadar
(composmentis – coma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit
pasien, kekacuan fungsi dari hepar salah satunya membawa dampak yang tidak
langsung terhadap penurunan kesadaran, salah satunya dengan adanya anemia
menyebabkan pasokanO2 ke jaringan kurang termasuk pada otak.
·
B4
(Bladder) : urine berwarna kuning tua dan berbuih.
Bilirubin tak-terkonjugasi meningkat bilirubin dalam urine dan ikterik serta
pruritus
·
B5
(Bowel) : anoreksia, mual, muntah, nyeri
abdomen. Vena-vena gastrointestinal menyempit, terjadi inflamasi hepar, fungsi
gastrointestinal terganggu. Sintetisb asam lemak dan trigliserida meningkat
yang mengakibatkan hepar berlemak, akhirnya menjadi hepatomegali : oksidasi
asam lemak menurun yang menyebabkan penurunan produksi tenaga. Akibatnya, berat
badan menurun.
·
B6
(Bone) : keletihan, metabolism
tubuh meningkat produksi energy kurang. Glikogenesis meningkat, glikogenolisis
dan glikoneogenesis meningkat yang menyebabkan gangguan metabolisme glukosa.
Akibatnya terjadi penurunan tenaga.
2.
Diagnosa keperawatan yang sering muncul
a.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan
penurunan berat badan
b.
Perubahan suhu tubuh: hipertermia berhubungan dengan
proses inflamasi pada sirosis
c.
Gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan
pembentukan edema.
d.
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ikterus
dan status imunologi yang terganggu
e.
Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
f.
Resiko cedera berhubungan dengan hipertensi portal,
perubahan mekanisme pembekuan dan gangguan dalam proses detoksifikasi obat.
g.
Nyeri kronis berhubungan dengan agen injuri biologi
(hati yang membesar serta nyeri tekan dan asites)
3.
Rencana keperawatan
Diagnosa Keperawatan
|
Rencana
Keperawatan
|
||
NOC
|
NIC
|
Rasional
|
|
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat
badan
|
Tujuan: Peningkatan energi dan partisipasi dalam aktivitas
Kriteria Hasil:
1. Melaporkan
peningkatan kekuatan dan kesehatan pasien.
2. Merencanakan
aktivitas untuk memberikan kesempatan istirahat yang cukup.
3. Meningkatkan
aktivitas dan latihan bersamaan dengan bertambahnya kekuatan.
4. Memperlihatkan
asupan nutrien yang adekuat dan menghilangkan alkohol dari diet.
|
1) Tawarkan
diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).
2) Berikan
suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K)
3) Motivasi
pasien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat
4) Motivasi
dan bantu pasien untuk melakukan latihan dengan periode waktu yang
ditingkatkan secara bertahap
|
1) Memberikan
kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan.
2) Memberikan
nutrien tambahan.
3) Menghemat
tenaga pasien sambil mendorong pasien untuk melakukan latihan dalam batas
toleransi pasien.
4) Memperbaiki
perasaan sehat secara umum dan percaya diri
|
Perubahan suhu tubuh: hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi
pada sirosis
|
Tujuan: Pemeliharaan suhu tubuh yang normal
Kriteria Hasil:
1. Melaporkan
suhu tubuh yang normal dan tidak terdapatnya gejala menggigil atau
perspirasi.
2. Memperlihatkan
asupan cairan yang adekuat.
|
1) Catat suhu
tubuh secara teratur.
2) Motivasi
asupan cairan
3) Lakukan
kompres dingin atau kantong es untuk menurunkan kenaikan suhu tubuh.
4) Berikan
antibiotik seperti yang diresepkan.
5) Hindari
kontak dengan infeksi.
6) Jaga agar
pasien dapat beristirahat sementara suhu tubuhnya tinggi.
|
1) Memberikan
dasar untuk deteksi hati dan evaluasi intervensi.
2) Memperbaiki
kehilangan cairan akibat perspirasi serta febris dan meningkatkan tingkat
kenyamanan pasien.
3) Menurunkan
panas melalui proses konduksi serta evaporasi, dan meningkatkan tingkat
kenyaman pasien.
4) Meningkatkan
konsentrasi antibiotik serum yang tepat untuk mengatasi infeksi.
5) Meminimalkan
resiko peningkatan infeksi, suhu tubuh serta laju metabolik.
6) Mengurangi
laju metabolik.
|
Gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan pembentukan edema.
|
Tujuan: Memperbaiki integritas kulit dan proteksi jaringan yang mengalami
edema.
Kriteria Hasil:
1. Memperlihatkan
turgor kulit yang normal pada ekstremitas dan batang tubun.
2. Tidak
memperlihatkan luka pada kulit.
3. Memperlihatkan
jaringan yang normal tanpa gejala eritema, perubahan warna atau peningkatan
suhu di daerah tonjolan tulang.
4. Mengubah
posisi dengan sering.
|
1) Batasi
natrium seperti yang diresepkan.
2) Berikan
perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.
3) Balik dan
ubah posisi pasien dengan sering.
4) Timbang
berat badan dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari.
5) Lakukan latihan
gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematus.
6) Letakkan
bantalan busa yang kecil dibawah tumit, maleolus dan tonjolan tulang lainnya.
|
1) Meminimalkan
pembentukan edema.
2) Jaringan
dan kulit yang edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat rentan terhadap
tekanan serta trauma.
3) Meminimalkan tekanan yang lama dan
meningkatkan mobilisasi edema.
4) Memungkinkan
perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap adanya retensi serta
kehilangan cairan dengan cara yang paling baik.
5) Meningkatkan
mobilisasi edema.
6) Melindungi
tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika dilakukan dengan benar.
|
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ikterus dan status imunologi
yang terganggu
|
Tujuan: Memperbaiki integritas kulit dan meminimalkan iritasi kulit
Kriteria Hasil:
1. Memperlihatkan
kulit yang utuh tanpa terlihat luka atau infeksi.
2. Melaporkan
tidak adanya pruritus.
3. Memperlihatkan
pengurangan gejala ikterus pada kulit dan sklera.
4. Menggunakan
emolien dan menghindari pemakaian sabun dalam menjaga higiene sehari-hari.
|
1) Observasi
dan catat derajat ikterus pada kulit dan sklera.
2) Lakukan
perawatan yang sering pada kulit, mandi tanpa menggunakan sabun dan melakukan
masase dengan losion pelembut (emolien).
3) Jaga agar
kuku pasien selalu pendek.
|
1) Memberikan
dasar untuk deteksi perubahan dan evaluasi intervensi.
2) Mencegah
kekeringan kulit dan meminimalkan pruritus.
3) Mencegah
ekskoriasi kulit akibat garukan.
|
Perubahan status nutrisi,
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan
gastrointestinal.
|
Tujuan: Perbaikan status nutrisi
Kriteria Hasil:
1. Memperlihatkan
asupan makanan yang tinggi kalori, tinggi protein dengan jumlah memadai.
2. Mengenali
makanan dan minuman yang bergizi dan diperbolehkan dalam diet.
3. Bertambah
berat tanpa memperlihatkan penambahan edema dan pembentukan asites.
4. Mengenali
dasar pemikiran mengapa pasien harus makan sedikit-sedikit tapi sering.
5. Melaporkan
peningkatan selera makan dan rasa sehat.
6. Menyisihkan
alkohol dari dalam diet.
7. Turut
serta dalam upaya memelihara higiene oral sebelum makan dan menghadapi mual.
8. Menggunakna
obat kelainan gastrointestinal seperti yang diresepkan.
9. Melaporkan
fungsi gastrointestinal yang normal dengan defekasi yang teratur.
10. Mengenali
gejala yang dapat dilaporkan: melena, pendarahan yang nyata.
|
1)Motivasi
pasien untuk makan makanan dan suplemen makanan.
2)Tawarkan
makan makanan dengan porsi sedikit tapi sering.
3)Hidangkan
makanan yang menimbulkan selera dan menarik dalam penyajiannya.
4)Pantang
alkohol.
5)Pelihara
higiene oral sebelum makan.
6)Pasang ice
collar untuk mengatasi mual.
7)Berikan
obat yang diresepkan untuk mengatasi mual, muntah, diare atau konstipasi.
8)Motivasi
peningkatan asupan cairan dan latihan jika pasien melaporkan konstipasi.
9)Amati
gejala yang membuktikan adanya perdarahan gastrointestinal.
|
1) Motivasi
sangat penting bagi penderita anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
2) Makanan
dengan porsi kecil dan sering lebih ditolerir oleh penderita anoreksia.
3) Meningkatkan
selera makan dan rasa sehat.
4) Menghilangkan
makanan dengan “kalori kosong” dan menghindari iritasi lambung oleh alkohol.
5) Mengurangi
citarasa yang tidak enak dan merangsang selera makan.
6) Dapat
mengurangi frekuensi mual.
7) Mengurangi
gejala gastrointestinal dan perasaan tidak enak pada perut yang mengurangi
selera makan dan keinginan terhadap makanan.
8) Meningkatkan
pola defekasi yang normal dan mengurangi rasa tidakenak serta distensi pada
abdomen.
9) Mendeteksi
komplikasi gastrointestinal yang serius.
|
Resiko cedera berhubungan dengan hipertensi portal, perubahan mekanisme
pembekuan dan gangguan dalam proses detoksifikasi obat.
|
Tujuan: Pengurangan resiko cedera
Kriteria Hasil:
1. Tidak
memperlihatkan adanya perdarahan yang nyata dari traktus gastrointestinal.
2. Tidak
memperlihatkan adanya kegelisahan, rasa penuh pada epigastrium dan indikator
lain yang menunjukkan hemoragi serta syok.
3. Memperlihatkan hasil
pemeriksaan yang negatif untuk perdarahan tersembunyi gastrointestinal.
4. Bebas dari
daerah-daerah yang mengalami ekimosis atau pembentukan hematom.
5. Memperlihatkan tanda-tanda
vital yang normal.
6. Mempertahankan
istirahat dalam keadaan tenang ketika terjadi perdarahan aktif.
7. Mengenali
rasional untuk melakukan transfusi darah dan tindakan guna mengatasi
perdarahan.
8. Melakukan
tindakan untuk mencegah trauma (misalnya, menggunakan sikat gigi yang lunak,
membuang ingus secara perlahan-lahan, menghindari terbentur serta terjatuh,
menghindari mengejan pada saat defekasi).
9. Tidak mengalami efek samping
pemberian obat.
10. Menggunakan
semua obat seperti yang diresepkan.
11. Mengenali
rasional untuk melakukan tindakan penjagaan dengan menggunakan semua obat.
|
1) Amati
setiap feses yang dieksresikan untuk memeriksa warna, konsistensi dan
jumlahnya.
2) Waspadai
gejala ansietas, rasa penuh pada epigastrium, kelemahan dan kegelisahan.
3) Periksa
setiap feses dan muntahan untuk mendeteksi darah yang tersembunyi.
4) Amati
manifestasi hemoragi: ekimosis, epitaksis, petekie dan perdarahan gusi.
5) Catat
tanda-tanda vital dengan interval waktu tertentu.
6) Jaga agar
pasien tenang dan membatasi aktivitasnya.
7) Bantu
dokter dalam memasang kateter untuk tamponade balon esofagus.
8) Lakukan
observasi selama transfusi darah dilaksanakan.
9) Ukur dan
catat sifat, waktu serta jumlah muntahan.
10) Pertahankan pasien dalam keadaan puasa jika
diperlukan.
11) Berikan
vitamin K seperti yang diresepkan.
12) Dampingi
pasien secara terus menerus selama episode perdarahan.
13) Berikan
obat dengan hati-hati; pantau efek samping pemberian obat.
|
1) Memungkinkan
deteksi perdarahan dalam traktus gastrointestinal.
2) Dapat
menunjukkan tanda-tanda dini perdarahan dan syok.
3) Mendeteksi
tanda dini yang membuktikan adanya perdarahan.
4) Menunjukkan
perubahan pada mekanisme pembekuan darah.
5)
Memberikan dasar dan bukti adanya hipovolemia dan syok.
6) Meminimalkan resiko perdarahan dan mengejan.
7) Memudahkan
insersi kateter kontraumatik untuk mengatasi perdarahan dengan segera pada
pasien yang cemas dan melawan.
8) Memungkinkan
deteksi reaksi transfusi (resiko ini akan meningkat dengan pelaksanaan lebih
dari satu kali transfusi yang diperlukan untuk mengatasi perdarahan aktif
dari varises esofagus)
9) Membantu
mengevaluasi taraf perdarahan dan kehilangan darah.
10) Mengurangi
resiko aspirasi isi lambung dan meminimalkan resiko trauma lebih lanjut pada
esofagus dan lambung.
11) Meningkatkan pembekuan dengan memberikan
vitamin larut lemak yang diperlukan untuk mekanisme pembekuan darah.
12) Menenangkan
pasien yang merasa cemas dan memungkinkan pemantauan serta deteksi terhadap
kebutuhan pasien selanjutnya.
13) Mengurangi resiko efek samping yang terjadi
sekunder karena ketidakmampuan hati yang rusak untuk melakukan detoksifikasi (memetabolisasi)
obat secara normal.
|
Nyeri kronis berhubungan dengan agen injuri biologi (hati yang membesar
serta nyeri tekan dan asites)
|
Tujuan: Peningkatan rasa kenyamanan
Kriteria Hasil:
1. Mempertahankan
tirah baring dan mengurangi aktivitas ketika nyeri terasa.
2. Menggunakan antipasmodik dan
sedatif sesuai indikasi dan resep yang diberikan.
3. Melaporkan
pengurangan rasa nyeri dan gangguan rasa nyaman pada abdomen.
4. Melaporkan
rasa nyeri dan gangguan rasa nyaman jika terasa.
5. Mengurangi
asupan natrium dan cairan sesuai kebutuhan hingga tingkat yang diinstruksikan
untuk mengatasi asites.
6. Merasakan
pengurangan rasa nyeri.
7. Memperlihatkan
pengurangan rasa nyeri.
8. Memperlihatkan
pengurangan lingkar perut dan perubahan berat badan yang sesuai.
|
1) Pertahankan
tirah baring ketika pasien mengalami gangguan rasa nyaman pada abdomen.
2) Berikan
antipasmodik dan sedatif seperti yang diresepkan.
3) Kurangi asupan natrium dan cairan jika
diinstruksikan.
|
1) Mengurangi
kebutuhan metabolik dan melindungi hati.
2) Mengurangi
iritabilitas traktus gastrointestinal dan nyeri serta gangguan rasa nyaman
pada abdomen.
3) Memberikan
dasar untuk mendeteksi lebih lanjut kemunduran keadaan pasien dan untuk
mengevaluasi intervensi
4) Meminimalkan
pembentukan asites lebih lanjut.
|
DAFTAR
PUSTAKA
Baradero, mary. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Hati.
Penerbit buku kedocteran egc. Jakarta.
Black & Hawks. 2005. Medical surgical nursing : Clinical
management for positive outcome. St.Louis : Elvier Saunders
Brunner & Suddarth. 2008. Textbook of medical surgical nursing,
eleventh edition. Philadelpia: Lippincott William & Wilkins
Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser.
(1999). Rencana asuhankeperawatan : pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: PenerbitBuku Kedokteran (EGC)
Elizabeth J. Corwin. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Johnson, M. et.al. 2000. Nursing Outcome Classification (NOC) 2nd ed.
USA: Mosby
McCloskey, J. C. & Bulechek, G. M. 1996. Nursing Interventions
Classification (NIC). USA: Mosby Guyton &Hall. 2000.
Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC
Keyman, Withfield. 2006. Dietary proteins intake in patients with
hepatic encephalopahaty and chirrosis : current practice in NSW and ACT.
Diakses pada tanggal 3 OKTOBER 2011 dari :http://www.healthsystem.virginia.edu/internet/digestive-
Krenitsky. 2002. Nutrition for patient with hepatic failure. Diakses
tanggal 3 Oktober 2011.
Maryani, Sutadi. 2003. Sirosis hepatic. Medan : Bagian ilmu
penyakit dalam USU
Sumbernya tidak sesuai dengan makalah👎👎👎
ReplyDelete